Hadits Arbain Nawawi Ke-4
Hadits Arbain Nawawi Ke-4
عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ،
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ
وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا.
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur dan dipercaya
bersabda: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan dalam
perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah (air mani), kemudian menjadi alaqah
(segumpal darah) selama waktu yang sama, kemudian menjadi mudghah (segumpal
daging) selama waktu yang sama. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh
ke dalamnya, dan diperintahkan (untuk mencatat) empat hal: menuliskan
rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia celaka atau bahagia. Demi Allah
yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh salah seorang dari kalian ada yang beramal
dengan amalan penghuni surga sehingga antara dia dan surga hanya tinggal satu
hasta, namun takdir mendahuluinya, sehingga dia beramal dengan amalan penghuni
neraka lalu masuklah ia ke dalamnya. Dan ada seorang dari kalian yang beramal
dengan amalan penghuni neraka sehingga antara dia dan neraka hanya tinggal satu
hasta, namun takdir mendahuluinya, sehingga dia beramal dengan amalan penghuni
surga lalu masuklah ia ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna Hadits
Hadits ini mengandung beberapa pelajaran penting terkait dengan
penciptaan manusia, takdir, dan kehendak Allah. Berikut penjelasan rinci
mengenai kandungan hadits tersebut:
1. Tahapan Penciptaan Manusia
- Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa penciptaan manusia di
dalam rahim ibu berlangsung dalam tiga tahap:
- Nutfah:
Selama 40 hari pertama, janin berada dalam bentuk air mani.
- Alaqah:
Selama 40 hari kedua, janin berubah menjadi segumpal darah yang
menggantung di rahim.
- Mudghah:
Selama 40 hari ketiga, janin menjadi segumpal daging.
- Setelah
tahap ini, Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam janin.
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ ١٢ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً
فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ١٣ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا
الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ
لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ
الْخَالِقِينَ ١٤
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minun: 12-14)
1. Hukum Aborsi Secara Umum:
Aborsi umumnya dilarang dalam Islam karena merupakan tindakan
menghilangkan nyawa calon manusia yang sedang berkembang dalam rahim. Hal ini
didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits yang menekankan pentingnya
menjaga kehidupan. Misalnya, dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
ۙ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada
kamu." (QS. Al-Isra: 31)
Meskipun ayat ini secara eksplisit menyebutkan tentang anak-anak
yang sudah lahir, para ulama memperluas maknanya untuk mencakup janin yang
masih dalam kandungan, terutama jika alasan aborsi adalah alasan ekonomi atau
ketidakmampuan.
2. Hukum Berdasarkan Usia Kehamilan:
Dalam Islam, hukum aborsi bisa berbeda tergantung pada usia janin,
yang sering dibagi menjadi dua tahap utama:
- Sebelum
120 Hari (4 Bulan): Sebagian besar ulama
membolehkan aborsi sebelum usia janin mencapai 120 hari, jika ada alasan
yang sangat mendesak dan dibenarkan secara syar'i, seperti:
ü
Ancaman serius
terhadap kesehatan atau nyawa ibu.
ü
Janin
didiagnosis memiliki cacat berat yang tidak dapat diperbaiki dan dapat
menyebabkan penderitaan yang luar biasa setelah kelahiran. Meskipun demikian,
tindakan ini tetap dianggap tidak diinginkan (makruh) dan hanya boleh dilakukan
jika benar-benar diperlukan.
- Setelah
120 Hari (4 Bulan): Setelah usia janin mencapai
120 hari, aborsi menjadi sangat dilarang (haram) kecuali dalam kondisi
darurat di mana nyawa ibu terancam. Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa
pada usia ini, ruh telah ditiupkan ke dalam janin, sehingga
menggugurkannya dianggap sebagai tindakan membunuh jiwa yang hidup.
2. Penetapan Takdir
- Setelah
ruh ditiupkan, malaikat diperintahkan untuk menulis empat ketentuan bagi
setiap manusia:
1.
Rezeki:
Segala sesuatu yang berkaitan dengan rezeki dan kehidupan duniawi.
2.
Ajal:
Batas umur atau masa hidup seseorang di dunia.
3.
Amal: Perbuatan-perbuatan
yang akan dilakukan selama hidupnya.
4.
Nasib:
Apakah dia akan menjadi orang yang beruntung atau celaka, masuk surga atau
neraka.
3. Kehendak dan Takdir Allah
- Hadits
ini juga menjelaskan bahwa takdir Allah itu pasti terjadi, meskipun
seseorang beramal seolah-olah ia pasti masuk surga atau neraka. Pada
akhirnya, apa yang telah ditentukan oleh Allah yang akan menjadi
kenyataan.
Surah Al-Hadid (57:22):
مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah."
4. Ketetapan Akhir
- Hadits
ini memberikan peringatan agar kita tidak merasa aman dengan amal yang
dilakukan, karena bisa saja di akhir hayat seseorang berubah menjadi
buruk.
- Sebaliknya,
orang yang melakukan dosa jangan putus asa dari rahmat Allah, karena masih
ada kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri hingga akhir hayat.
Contoh-Contoh Aplikasi
1.
Kesabaran dan
Keikhlasan dalam Beramal:
o Seorang Muslim harus tetap ikhlas dalam beramal tanpa merasa
sombong atau takabur dengan amalannya. Harus ada keseimbangan antara rasa takut
akan takdir buruk dan harapan akan rahmat Allah.
2.
Berbaik Sangka
kepada Allah:
o Meskipun seseorang melihat hidupnya penuh cobaan, ia harus tetap
berbaik sangka kepada Allah dan terus berusaha berbuat baik. Takdir bisa
berubah karena doa, usaha, dan tawakal kepada Allah.
3.
Menghindari
Putus Asa:
o Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, meskipun merasa penuh
dosa. Selama masih ada kesempatan, pintu taubat selalu terbuka, dan seseorang
bisa berubah menjadi lebih baik di akhir hayatnya.
Perkataan Ulama
1.
Imam An-Nawawi:
o Dalam Syarh Arbain Nawawi, beliau menyatakan bahwa hadits ini menjelaskan
tentang penciptaan manusia dan penetapan takdir. Hal ini menunjukkan bahwa
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi sebelum terjadi.
2.
Imam Ghazali:
o Beliau menekankan pentingnya beramal shalih dan senantiasa berdoa
agar Allah meneguhkan hati kita dalam kebaikan hingga akhir hayat. Meskipun
takdir telah ditentukan, usaha dan doa tetap menjadi bagian dari ikhtiar kita
sebagai hamba.
قالَ العُلَماءُ: ما قَدَّرَ اللهُ لَكَ فَهُوَ يَصِلُ إِلَيْكَ
بِسَبَبٍ أَوْجَدَهُ لَكَ وَما لا يُقَدَّرْ لَكَ لا يَصِلُ إِلَيْكَ.
Para ulama berkata: "Apa yang Allah takdirkan untukmu, itu
akan sampai kepadamu melalui sebab yang telah Dia ciptakan untukmu, dan apa
yang tidak ditakdirkan untukmu, tidak akan sampai kepadamu."
Penjelasannya adalah:
1. Takdir Allah dan Sebab-sebabnya: Apa pun yang telah Allah
tetapkan untuk seseorang—baik itu rezeki, keberhasilan, atau kejadian
tertentu—akan tercapai dan sampai kepada orang tersebut. Allah akan menyediakan
atau menciptakan sebab-sebab yang membawa takdir itu kepada hamba-Nya.
2. Ketidakmungkinan Mendapatkan yang Bukan Takdir:
Sebaliknya, jika sesuatu tidak ditakdirkan untuk seseorang, meskipun orang
tersebut berusaha keras untuk mendapatkannya, hal tersebut tidak akan pernah
sampai kepadanya. Sebab, segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak dan
ketentuan Allah.
قالَ العُلَماءُ: عَدَمُ الفَرَحِ بِالشَّيْءِ ما لَمْ يُعْلَمْ
أَنَّهُ سَعِيدٌ في الآخِرَةِ.
Para ulama berkata: "Tidak ada kegembiraan terhadap sesuatu
(di dunia) selama belum diketahui bahwa hal tersebut akan membawa kebahagiaan
di akhirat."
Maksud dari kalimat ini adalah seseorang seharusnya tidak merasa
terlalu senang atau bangga dengan hal-hal duniawi yang ia peroleh (seperti
kekayaan, jabatan, kesuksesan, dan sebagainya), kecuali ia yakin bahwa hal
tersebut juga akan memberikan manfaat dan kebahagiaan di akhirat. Ini
menekankan pentingnya menilai segala sesuatu dari perspektif akhirat, bukan
hanya dari sudut pandang dunia.
Contoh:
1. Kekayaan: Seorang pengusaha yang mendapatkan keuntungan
besar dari usahanya tidak seharusnya terlalu bergembira hanya karena ia
mendapatkan banyak uang. Ia harus memikirkan apakah kekayaannya itu akan
membantunya di akhirat, misalnya dengan menyumbangkan sebagian dari hartanya
kepada yang membutuhkan, membangun fasilitas umum, atau membantu pendidikan.
Jika kekayaannya digunakan untuk hal-hal tersebut, barulah ia layak merasa
senang, karena hartanya juga akan bermanfaat di akhirat.
2. Jabatan dan Kekuasaan: Seseorang yang mendapatkan posisi
tinggi di pemerintahan atau organisasi seharusnya tidak hanya berbangga diri
dengan jabatannya. Ia harus berpikir apakah dengan posisinya tersebut ia bisa
berbuat adil, membantu orang banyak, dan menjalankan tugasnya dengan amanah.
Jika ya, maka jabatannya bisa menjadi sarana kebahagiaan di akhirat. Namun,
jika ia hanya menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka jabatannya
tidak akan memberikan kebahagiaan di akhirat.
3. Ilmu Pengetahuan: Seorang ilmuwan atau akademisi yang
berhasil menemukan pengetahuan baru atau meraih gelar tinggi tidak seharusnya
hanya berbangga dengan pencapaiannya. Ia harus memikirkan apakah ilmunya
tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan apakah ia menggunakannya untuk tujuan
yang baik. Jika ilmunya digunakan untuk hal-hal yang positif, maka ia boleh
berbahagia, karena ilmunya tersebut bisa menjadi amal jariyah yang bermanfaat
di akhirat.
Intinya, kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang tidak
hanya dirasakan di dunia, tetapi juga berdampak positif bagi kehidupan akhirat.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ـ قَالَ: شَهِدْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِرَجُلٍ مِمَّنْ يَدَّعِي الإِسْلَامَ:
هَذَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَلَمَّا حَضَرَ القِتَالُ قَاتَلَ الرَّجُلُ
قِتَالًا شَدِيدًا فَأَصَابَتْهُ جِرَاحَةٌ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، الَّذِي
قُلْتَ لَهُ إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَإِنَّهُ قَدْ قَاتَلَ اليَوْمَ
قِتَالًا شَدِيدًا وَقَدْ مَاتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِلَى النَّارِ، قَالَ: فَكَادَ بَعْضُ النَّاسِ أَنْ يَرْتَابَ،
فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى ذَلِكَ إِذْ قِيلَ إِنَّهُ: لَمْ يَمُتْ، وَلَكِنْ بِهِ
جِرَاحٌ شَدِيدَةٌ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ اللَّيْلِ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى الجِرَاحِ
فَقَتَلَ نَفْسَهُ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Kami ikut bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu peperangan. Kemudian
beliau berkata kepada seorang laki-laki yang mengaku Islam, "Orang ini
termasuk ahli neraka." Ketika pertempuran dimulai, orang tersebut
bertempur dengan sangat gagah berani hingga mengalami luka parah. Lalu ada yang
berkata, "Wahai Rasulullah, orang yang Anda katakan sebagai ahli neraka
itu hari ini telah bertempur dengan sangat gagah berani dan dia telah meninggal
dunia." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetap bersabda, "Dia
masuk neraka." Hampir saja sebagian orang merasa ragu (dengan sabda
Rasulullah). Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, dikabarkan bahwa
orang tersebut belum meninggal dunia, tetapi mengalami luka parah. Pada malam
harinya, dia tidak bisa menahan rasa sakit dari luka-lukanya, lalu dia bunuh
diri.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَانَ فِيمَا كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ
قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ،
فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ
مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ
عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟
فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى
أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ، فَاعْبُدِ اللهَ
مَعَهُمْ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ، فَانْطَلَقَ
حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ
مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ، فَقَالَتْ مَلَائِكَةُ
الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ، وَقَالَتْ
مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ
فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ، فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ، فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ
الْأَرْضَيْنِ، فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوا
فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ
الرَّحْمَةِ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri,
bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dahulu di
kalangan umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan
puluh sembilan orang. Kemudian dia bertanya tentang siapa orang yang paling
berilmu di bumi. Lalu dia ditunjukkan kepada seorang rahib (pendeta). Dia
mendatanginya dan berkata, 'Saya telah membunuh sembilan puluh sembilan orang.
Apakah saya masih bisa bertaubat?' Rahib itu menjawab, 'Tidak.' Maka laki-laki
itu membunuh rahib tersebut sehingga genaplah seratus orang yang dia bunuh.
Kemudian dia bertanya lagi
tentang siapa orang yang paling berilmu di bumi. Lalu dia ditunjukkan kepada
seorang alim (ahli ilmu). Laki-laki itu berkata, 'Saya telah membunuh seratus
orang. Apakah saya masih bisa bertaubat?' Ahli ilmu itu menjawab, 'Ya, dan
siapa yang dapat menghalanginya dari taubat? Pergilah ke tempat ini dan itu,
karena di sana ada orang-orang yang menyembah Allah. Sembahlah Allah bersama
mereka, dan jangan kembali ke tempatmu, karena tempatmu adalah tempat yang
buruk.'
Laki-laki itu pun pergi,
hingga ketika dia telah menempuh setengah perjalanan, maut menjemputnya. Maka
malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih mengenai dirinya. Malaikat rahmat
berkata, 'Dia datang dalam keadaan bertaubat dengan hatinya yang menghadap
kepada Allah.' Sedangkan malaikat azab berkata, 'Dia belum pernah melakukan
kebaikan sama sekali.'
Kemudian datanglah seorang
malaikat dalam bentuk manusia. Mereka menjadikannya sebagai penengah. Dia
berkata, 'Ukurlah jarak antara kedua tempat. Mana yang lebih dekat, maka dia
miliknya.' Mereka pun mengukur dan mendapati bahwa laki-laki itu lebih dekat ke
tempat yang ditujunya. Maka dia diambil oleh malaikat rahmat." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pesan Moral Hadits:
1. Rahmat Allah yang Luas: Hadits ini menunjukkan bahwa pintu taubat selalu
terbuka bagi siapa saja yang ingin bertaubat dengan sungguh-sungguh, tak peduli
seberapa besar dosa yang telah dilakukan.
2. Peranan Lingkungan: Berubahnya seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya. Ahli ilmu itu menyuruh orang tersebut untuk berpindah dari
lingkungannya yang buruk menuju tempat yang baik agar bisa memperbaiki dirinya.
3. Keputusan untuk Berubah: Kesungguhan niat seseorang untuk berubah, meskipun
belum sempat melaksanakannya sepenuhnya, sudah diperhitungkan oleh Allah.
4. Kepedulian Ilmu Pengetahuan: Orang alim (ahli ilmu) tahu bahwa rahmat dan
ampunan Allah sangat luas dan tak terbatas, sehingga dia menyampaikan nasihat
yang benar untuk siapapun yang ingin bertaubat.
"كُلُّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ"
diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Terjemahan dari hadits ini adalah:
"Setiap orang
dimudahkan untuk apa yang dia diciptakan baginya."
Hadits ini menunjukkan bahwa
setiap orang memiliki tujuan hidup dan jalan yang telah ditentukan oleh Allah
untuk mereka. Makna dari hadits ini bisa diuraikan sebagai berikut:
1. Takdir Allah dan Usaha
Manusia
Hadits ini mengisyaratkan
adanya hubungan antara takdir yang telah Allah tetapkan dengan usaha manusia.
Manusia akan dimudahkan dalam jalan yang sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan untuknya, baik itu dalam hal kebaikan atau keburukan. Ini bukan
berarti manusia tidak perlu berusaha, melainkan usaha manusia juga bagian dari
takdir tersebut.
2. Potensi dan Bakat yang
Dimiliki
Allah menciptakan manusia
dengan potensi dan bakat tertentu yang sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Misalnya, ada orang yang memiliki kecenderungan kuat dalam ilmu agama, ada yang
dalam ilmu pengetahuan, ada yang dalam berbuat baik kepada sesama, dan sebagainya.
Hadits ini mengajarkan bahwa seseorang akan dimudahkan untuk menempuh jalan
yang sesuai dengan potensi dan bakat yang Allah berikan kepadanya.
3. Keterikatan dengan
Hidayah
Dalam konteks keimanan,
hadits ini juga menegaskan bahwa orang-orang yang Allah kehendaki untuk
mendapatkan hidayah akan dimudahkan untuk menempuh jalan kebaikan. Sebaliknya,
orang yang memang tidak ditetapkan untuk mendapatkan hidayah akan dimudahkan menuju
jalan keburukan. Ini selaras dengan firman Allah dalam Surah Al-Lail ayat 5-10:
وَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ وَصَدَّقَ
بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ وَكَذَّبَ
بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
"Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (syurga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta
mendustakan pahala terbaik, maka Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang
sukar."
4. Optimisme dan Usaha dalam
Kebaikan
Hadits ini mengajarkan
kepada kita untuk selalu optimis dan berusaha maksimal dalam hal-hal yang baik.
Jika seseorang merasa bahwa jalan menuju kebaikan dirasakan sulit, maka perlu
diupayakan lebih keras lagi, berdoa memohon pertolongan dan kemudahan dari
Allah. Karena sesungguhnya, dengan usaha dan tawakal yang kuat, Allah akan
memudahkan jalan hamba-Nya.
5. Bersyukur dan Ridha
dengan Takdir
Hadits ini juga mengajarkan
kita untuk ridha dan menerima apa yang telah Allah tetapkan, baik dalam hal
pencapaian maupun kegagalan. Setiap orang memiliki jalan hidup yang unik dan
berbeda-beda, dan hal itu semua adalah bagian dari ketetapan Allah yang sempurna.
Dengan demikian, hadits ini
mengandung banyak hikmah tentang pentingnya mengenali takdir, potensi, dan
jalan hidup yang telah ditentukan oleh Allah, sambil tetap berusaha dan berdoa
agar dimudahkan dalam menjalani kehidupan ini sesuai dengan apa yang diridhai
oleh-Nya.
Komentar
Posting Komentar